Rabu, 24 Maret 2010 | 02:54 WIB
Nahdlatul Ulama mulai ”tergoda” dengan politik saat masih belia, yaitu ketika baru berusia 19 tahun. Pada tahun 1945, NU menggabungkan diri ke Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi. Sejak itu, hasrat berpolitik praktis yang penuh dengan konflik seperti tak terbendung hingga usia NU menginjak 84 tahun saat ini.
Realitas sejarah itu menimbulkan pertanyaan, apakah Nahdlatul Ulama (NU) memang bisa terlepas sama sekali dari politik praktis?
Realitas sejarah membuktikan, NU terlibat dalam berbagai pusaran konflik politik. Pada 6 April 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi karena konflik internal Masyumi antara kelompok tradisional—yang diwakili NU—dan kelompok reformis. NU selanjutnya bersama Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan sekelompok orang Islam dari Parepare, Sulawesi Selatan, membentuk federasi Liga Muslimin pada 30 Agustus 1952 (Subhan SD, Langkah Merah, Bentang, 1996).
Penyebab perpecahan lain di Masyumi dicatat pula oleh Slamet Effendy Yusuf, mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor dan calon ketua umum Pengurus Besar NU. Perpecahan di Partai Masyumi dipicu soal keanggotaan kembar dalam Masyumi, yaitu keanggotaan perorangan dan keanggotaan organisasi. NU mengusulkan penghapusan dualisme keanggotaan tersebut, tetapi ditolak Masyumi. Hal lain lagi soal calon Menteri Agama waktu itu antara Sukirman (NU) dan M Natsir.
Lepas dari Masyumi, langkah NU berikutnya sudah banyak dikupas, yaitu NU membentuk partai politik sendiri dan mengikuti Pemilihan Umum 1955. Secara mengejutkan, NU muncul sebagai partai politik terbesar ketiga dengan perolehan suara 18,4 persen setelah PNI (22,3 persen) dan Masyumi (20,9 persen).
Represi rezim Orde Baru mulai dirasakan NU menjelang Pemilu 1971. Orde Baru menilai, NU adalah lawan. Rasionalisasi partai politik yang dilakukan rezim Orde Baru memaksa NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Konflik juga belum berakhir. Menjelang Pemilu 1982, terjadi krisis peranan NU di internal PPP. Hal tersebut, antara lain, yang mendorong dalam Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU menegaskan kembali ke Khittah 1926. NU keluar dari PPP.
Namun, era keterbukaan 1998 menggoda kembali NU untuk masuk ke politik. Kali ini dengan membidani partai politik bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB mengikuti Pemilu 1999 dan kembali menjadi partai politik terbesar ketiga dengan perolehan suara 13 persen. PKB juga bisa mengantarkan KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Dewan Syuro PKB dan mantan Ketua Umum PBNU, menjadi presiden pada Oktober 1999.
Menurut mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur KH Ali Maschan Moesa, tidak ada yang bisa disalahkan dengan Khittah 1926. Hubungan NU dengan partai politik sudah selesai dengan Khittah 1926. NU memang harus berdiri di atas semua partai politik dan menjaga jarak yang sama. ”Bahwa orang merasa lebih dengan PKB karena NU membidani saja lahirnya PKB,” kata anggota DPR dari PKB itu.
KH Salahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, mengemukakan, tidak heran apabila saat itu kebanyakan warga dan tokoh NU beranggapan bahwa jati diri dan peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah dalam bidang politik.
Oleh karena itu, menurut Salahuddin, kegairahan banyak tokoh struktur NU di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan kota untuk menjadi calon dalam pemilihan umum kepala daerah dan pemilihan umum presiden perlu dipahami dalam konteks anggapan tentang jati diri dan peran NU itu. ”Tetapi, anggapan itu amat bertentangan dengan kenyataan pahit yang kita alami akibat munculnya para tokoh struktur NU dalam politik praktis itu,” ujar adik KH Abdurrahman Wahid itu.
Selain itu, persentase warga NU secara sosial politik semakin turun. Jika pada Pemilu 1955 sebesar 18,5 persen, Pemilu 1999 menjadi 20 persen, dan pada Pemilu 2009 tinggal 10 persen (gabungan suara PKB dan PPP). Dengan demikian, warga NU secara politik amat cair. ”Tidak mungkin kita dorong ke dalam satu partai politik,” katanya.
Kelemahan NU
Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan NU sebagai organisasi kemasyarakatan. Kelemahan yang diamati KH Salahuddin Wahid adalah NU menggunakan paradigma organisasi politik yang pragmatis, terpecah menjadi kubu-kubu, kurangnya saling percaya, dan tidak berorientasi amal sosial. Akibatnya, terjadi konflik karena masalah politik dan munculnya praktik politik uang.
Contoh jelas adalah konflik internal PKB yang melahirkan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang juga tidak memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 2009. Padahal, di PKNU juga terdapat ulama NU berpengaruh.
Satu hal lain yang diamati Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Prof Dr Kacung Marijan adalah soal tidak siapnya NU menghadapi industri demokrasi 10 tahun terakhir ini.
Ia menunjuk pada fakta hasil Pemilu 2009. Pemilih berlatar belakang NU pada Pemilu 2009 sekitar 21 persen. Kalau pemilih NU memilih partai terkait NU, total suara peroleh PKB, PPP, dan PKNU seharusnya sekitar 21 persen. Namun, yang terjadi, PPP hanya memperoleh 5,32 persen, PKB 4,94 persen, dan PKNU 1,47 persen. Totalnya hanya 11 persen. Berarti, ada separuh pemilih NU yang menyalurkan aspirasi politiknya ke partai politik lain, seperti Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat.
”Mengapa itu terjadi? Hal itu karena basis ekonomi warga NU lemah sehingga ketika masuk industri demokrasi menjadi tidak karuan,” kata Kacung.
Perilaku memilih warga NU dalam kapitalisasi dan industri demokrasi dewasa ini menjadi lebih otonom. Secara agama, mereka tetap warga NU, tetapi secara politik menjadi sangat otonom. ”Untuk agama, mereka tetap tunduk pada kiai. Untuk politik, warga NU masih bertransaksi,” ujar Kacung.
Ketua PBNU Masdar F Mas’udi menggarisbawahi bahwa hubungan elite NU dengan basis keumatan juga semakin renggang karena elite NU bermain dengan kalkulasi politik yang secara nalar berjangka pendek, sementara masyarakat NU di bawah menilai terjadi penyimpangan. Banyak imbauan kiai sekarang ini yang berkaitan dengan politik tidak diikuti oleh umatnya.
Untuk meredam dan mengurangi gesekan di antara tokoh NU, Salahuddin Wahid mengusulkan perlunya penegasan posisi NU dalam kepartaian. Diperlukan rumusan khittah NU di bidang politik yang tidak multitafsir. ”NU harus aktif berpolitik kebangsaan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan politik kepartaian atau kekuasaan,” kata Salahudin.
Masdar F Mas’udi juga sepakat, ”Solusinya ya moto lama, kembali ke Khittah 1926.”
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra mengusulkan agar NU tampil sebagai kekuatan moral. ”NU perlu memainkan peran cek dan kontrol tersebut secara lebih asertif dan efektif,” ujar Azyumardi. (BUR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
siLAHkan TinggALKan Jejak komentarnya ya !!!