Selama pemerintahan Orde Baru, pelajar_baik dalam artian siswa maupun mahasiswa_ditempatkan sebagai obyek pendidikan semata. Mestinya pendidikan diarahkan untuk melakukan pembebasan dan pencerahan, tetapi yang dilakukan Orde Baru adalah pengebirian dan bahkan pembodohan. Karenanya pendidikan yang diberikan tidak menciptakan ruang kesadaran kritis, melainkan menjadikan peserta didik teralienasi dari lingkungan sosialnya.(AKU LAGI BACA2 NIH ADA YG MO IKUT NGGAK NI,,, SEMOGA BERMANFAAT YA...)
Di Perguruan Tinggi, penerapan NKK/BKK merupakan bukti nyata bahwa penguasa ingin melakukan penguasaan terhadap mahasiswa yang merupakan elemen utama penggerak gerakan dan aksi sosial. Aksi sosial yang dimaksud berupa kritik dan tuntutan ketidakpuasan terhadap kebikjakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Dengan menormalkan kehidupan kampus, penguasa berharap mahasiswa tidak lagi vokal dan hanya diasikkan dengan kegiatan perkuliahan yang ketat oleh sistem SKS.
Hal yang sama dialami oleh siswa-siswa sekolah (yang belakangan diidentikkan dengan istilah pelajar). Para pelajar abu-abu putih dan biru putih ini benar-benar dijauhkan dari realitas sosial. Setumpukan buku-buku ajar yang harus dihafalkan agar dalam ujian mendapatkan angka yang tinggi, telah menyababkan pelajar terlalu larut dalam ’dunia lain’ bernama sekolah. Dikatakan dunia lain karena sekolah tak jarang mengajarkan banyak hal yang sama sekali beda dengan kehidupan nyata.
Sebagai contoh, di ruangan kelas sering kali diajarkan tentang geografi Indonesia yang begitu elok dari Sabang sampai Merauke. Sumber alam yang bisa diperbarui dan tidak diperbarui merupakan aset negara tak terkira yang menurut teorinya dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Namun kenyataannya, hutan di Kalimantan di babat habis dan emas di Papua dieksploitasi sedemikian rupa. Tentang kemana hasil pemenfaaatan alam Indonesia itu mengalir, pelajar tak pernah diberitahu.
Berbeda dengan mahasiswa di kampus yang terus melakukan perlawanan sehingga upaya kooptasi terhadap gerakan mahasiswa sedikit banyak tidak membuahkan hasil, di sekolah perlawanan serupa tidak terjadi. Maka penetrasi penguasa semakin menghunjam di kalangan pelajar. Kalau mahasiswa terus mampu bergerak dan mencari ‘celah sempit’ untuk terus menyuarakan kepentingan rakyat, maka siswa semakin dininabobokan dengan pelajaran-pelajarannya.
Faktor Pengebirian (Maksudnya apa nih ,,yuk cari tahu lbih dlam lagi)
Ada beberapa faktor mengapa pelajar sekolah kemudian larut dalam keterlenaaannya. Semua faktor itu bersimbiosis-mutualisme secara simultan dalam ‘menyerang’ alam sadar pelajar. Pertama, sisi usia. Pelajar yang masih dalam taraf usia belasan tentu mempunyai psikologi yang berbeda dengan mahasiswa yang akan menginjak 20 tahunan. Mentalitas, sikap, dan cara berpikir anak-anak sekolah relatif masih labil. Labilitas inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa mereka tidak banyak bereaksi dan keluar daeri kubangan hegemoni negara.
Kedua, penyeragaman mulai dari aspek lahiriah pakaian sampai pada pola pikir menyebabkan pelajar seakan tidak bisa dan mampu untuk berbeda. Ada semacam ketakutan-ketakutan ketika pelajar akan menjadi luar biasa (baca: di luar kebiasaan). Jangankan untuk mempunyai pendapat dan perspektif yang berbeda di kelas, untuk sekedar berseragam beda saja ada ketakutan karena sudah pasti akan mendapat ’strap’ atau hukuman.
Ketiga, metode pembelajaran. Ruang kelas bukan saja menjadi sekat-sekat yang memisahkan pelajar antar kelas, tetapi lebih dari itu merupakan jurang pemisah antara pelajar dengan lingkungan sekitar. Maka kelas menjadi semacam mesin pencabut rumput dari akarnya. Pelajar tidak tahu lagi fenomena yang ada di sekitarnya. Imbasnya, keluar dari kelas pelajar langsung gagap dan terbata-bata mengeja kehidupan yang ada di depan matanya.
Keempat, kurikulum. Kurikulum semasa Orde Baru banyak memuat bahsa-bahasa langit yang tidak membumi. Kurikulum lebih banyak berisi teori dan tidak sesuai dengan prakteknya. Identitas diberikan secara beruntun tanpa dibarengi dengan upaya membenturkannya dengan realitas. Kurikulum hanya berisi serangkaian kalimat yang enak dihafalkan.
Kelima, guru. Guru seharusnya menjadi faktor penentu bagi terciptanya out put sekolah yang kritis dan berkualitas. Tapi apalah daya kalau guru ternyata hanya menjadi penyambung lidah penguasa untuk menanamkan ideologinya. Guru zaman Orde Baru biasanya tidak punya alternatif lain selain menurut untuk menjalankan sistem yang mengungkung. Hanya beberapa saja yang sadar dan mencoba memberikan warna lain. Namun kebanyakan ”pahlawan tanpa tanda jasa” ini lebih memilih pikiran, ”Yah, mau bagaimana lagi?”. terlebih urusan kesejahteraan juga cukup mengganggu.
Keenam, ketidakbebasan berorganisasi. Ketentuan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang dinisbatkan sebagai organisasi wajib dan satu-satunya organisasi intra sekolah bagaimanapun mempengaruhi ruang gerak pelajar. Kontrol dan indoktrinasi akan lebih mudah dilakukan ketika semua pelajar diharuskan massuk OSIS. OSIS berubah menjadi ’lorong gelap’ yang mengarahkan siswa pada penjara ketertundukan.
Semua faktor itu saling mempengaruhi dan berkesinambungan dalam menjajah sekolah, sehingga sekolah tidak lagi bebas dan kemerdekaan siswa telah terebut. Siapa salah? Orde Baru barangkali salah, tetapi lebih salah lagi kalau kita kemudian tidak mempunyai sikap untuk memperbaiki kesalahan itu.
Reformasi Pendidikan
Era reformasi sebenarnya merupakan momen untuk merebut kembali kemerdekaan sekolah. Namun itupun belum akan lahir dari dalam sekolah, apalagi dari pelajar yang selama ini berada dalam pola ketertindasan belajar. Perubahan atau reformasi sekolah akan terjadi oleh dorongan kekuatan luar. Sungguhpun demikian harus ada inner power yang ikut menggerakkan secara kuat.
Mulai dari mana? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan pendek ini. Ada dua tawaran yang berkembang: meninggalkan sekolah-sekolah yang tidak mencerahkan dengan mendirikan sekolah-sekolah alternatif, atau yang kedua membenahi sekolah yang sudah ada. Jalan tengah dari keduanya adalah melakukan pembenahan dan pada saat yang sama mencoba mendirikan sekolah-sekolah alternatif disertai paradigma dan fundamen pola pengajaran yang sama sekali berbeda dengan sekolah-sekolah yang sebelumnya ada.
Dari sisi pemerintah, karena bagaimanapun alam sekolah tidak bias dilepaskan dari kebijakan makro nasional, maka harus ada politicall will dari instansi yang terkait dengan sekolahan dan pendidikan. Hal ini penting untuk menciptakan pendidikan yang mencerahkan sekaligus membebaskan.
Pemerintah sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan selayaknya mengambil inisiatif dan berada dalam garda depan perubahan. Peningkatan perangkat keras dan lunak menjadi perlu untuk mendukung terselenggaranya pendidikan yang memadai. Karenanya, anggaran 20 persen dari keseluruhan budget pemerintah harus segera direalisasikan untuk pendidikan.
Pemerintah perlu segera menyediakan gedung dan fasilitas yang representatif, ditambah dengan peningkatan kualitas guru, pengayaan kurikulum termasuk dengan muatan local wisdom dan perubahan metode pembelajaran yang mampu mengarahkan pada pembentukan world view yang luas. Tidak ada yang gratis untuk semua itu. Pendidikan memang mahal, namun kemahalan itu ditanggung pemerintah sehingga menjadi murah di mata rakyat.
Goal-nya adalah menjadikan sekolah sebagai ajang udar gagasan multiarah dari para pelajarnya. Tidak kalah penting, kesadaran yang diciptakan di dalamnya membentuk pelajar untuk memahami relitas kebangsaan Indonesia yang plural dan multikultural. Karenanya iklim dialogis dan bukan monologis merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Penyeragaman dengan kontrol ketat sudah saatnya diakhiri. Pelajar dicarikan kesempatan untuk mengekspresikan segala macam kreatifitas positif yang melatih pendewasaan mental dan pola pikir. (emmmmm...............gitu yua,,,, ayoooo carilah ilmu walau sampai negri china...tpi orang china dah byk di indonesia hehhee....nggak jauh2 lah ke china ,china dah mendekat sndiri ehihihi....)
Peran Organisasi Pelajar
Membenahi sekolah dengan fokus membebaskan pelajar dari kungkungan sistem pendidikan yang kurang manusiawi merupakan medan perang organisasi pelajar. Pijakannya, pendidikan seharusnya tidak melulu di sekolah yang beberapa jam, mulai pagi hingga siang, atau sampai sore kalau ditambah dengan tambahan pelajaran (les) menjelang ujian.
Islam mengajarkan pendidikan tak pernah henti seumur hidup, minal mahdi ilallahdi (mulai kelahiran hingga kematian). Jadi, pendidikan tidak semata saat berada di sekolah. Saat berada di luar sekolah, masyarakatlah yang mengambil alih tanggung jawab itu. Keluarga pada akhirnya menjadi institusi terkecil dan terdekat dengan pendidikan pelajar.
Internalisasi nilai-nilai dan dasar moral yang bersifat afektif menjadi penting untuk mendidik generasi yang tidak sekedar dapat menghafal tapi mempunyai sikap dan perilaku yang sesuai dengan potret manusia Indonesia dengan budi dan budayanya yang khas. Moralitas yang standar dan tidak harus menyerupai malaikat perlu diberikan kepada pelajar, agar dalam mengambil tindakan mereka mempunyai kendali nilai yang bekerja secara self control.
Organisasi pelajar merupakan bagian dari masyarakat yang paling pas untuk mengambil peran itu. Belajar dari organisasi ekstra kampus yang telah dengan cepat melakukan akselerasi pengkaderan di tingkat mahasiswa, organisasi pelajar seharusnya dapat melakukan hal yang sama atau bahkan lebih. Sayangnya organisasi pelajar belum dapat melakukan itu disebabkan berbagai hal.
Pertama, masih banyak sekolah yang tidak menerima kehadiran organisasi ekstra selain OSIS. Ada anggapan organisasi lain itu akan mengganggu proses belajar mengajar. Padahal pemerintah dan kepala-kepala sekolah seharusnya memberikan kebebasan berserikat dan berkumpul kepada pelajar, sesuai ketentuan dalam UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Kedua, minat para pelajar untuk berorganisasi relatif rendah. Dibanding dengan mahasiswa, pelajar sekolah lebih tidak suka berserikat dan berkumpul, kecuali dalam hal tertentu yang berkaitan dengan hobi serta bakat dan minat. Solusi terhadap kendala ini adalah bagaimana organisasi pelajar berusaha memenuhi selera pelajar, tanpa kehilangan ruh untuk melakukan pencerahan terhadap mereka. Bahasa, jenis kegiatan, macam program sebisa mungkin ditawarkan ‘ala qadri ‘uqulihim, yakni sesuai dengan kapasitas intelektual dan kebutuhan riil mereka.
Sementara dari sisi organisasi pelajar, setidaknya ada dua hal yang menghambat. Pertama, terjebak dengan pola lama atau sebaliknya terlalu bersemangat untuk melakukan hal-hal baru, sehingga kadang tidak realistis. Keterjebakan itu, entah ikut pusaran di dalam arus lama ataupun mencoba melawan dengan berusaha menciptakan pola yang baru menyebabkan energi yang dipunyai habis dan hanya berkutat di situ. Yang kedua, organisasi pelajar mengalami disorientasi.
Bagi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang telah menegaskan diri sebgai organisasi pelajar, beberapa hal yang menjadi kendala itu dapat ditaklukkan dengan konsistensi sikap dan garapan yang fokus, terarah dan terukur. Pertanyaannya, “Apa sih bedanya pelajar yang menjadi anggota IPNU dan tidak?”, memerlukan jawaban pasti bahwa dengan ber-IPNU, seorang pelajar akan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Kalau mau menjadikan IPNU menarik, maka kelebihan yang ditawarkan jangan menyangkut hal yang sudah taken for granted diperoleh pelajar tanpa harus aktif di IPNU.
Kepada sekolah yang memiliki resistensi terhadap keberadaan organisasi pelajar, diperlukan pendekatan khusus agar pihak sekolah bersikap legowo. Tingkah sok tahu dan sok cerdas perlu jauh didhindari, karena yang penting adalah kerja nyata. Pada saat yang sama harus mampu dibuktikan bahwa keberadaan organisasi pelajar dapat memberikan ‘kemaslahatan’ dan bukan ‘kemadlaratan’.
Tidak perlu ada anggapan bahwa dengan menggarap pelajar nilai tawar organisasi akan menjadi rendah, sehingga tidak bias dijadikan ‘mainan’ politik. Kalau pikiran itu memang ada, berarti telah terjadi kesalahan dalam orientasi. Orientasi organisasi pelajar adalah pendidikan, bukan politik. Dengan orientasi itu, maka banyak pihak akan melirik tanpa harus mengorbankannya untuk pragmatisme politik jangka pendek.
Ghirah siyasiyyah (gairah politik) jangan sampai mendistorsi tujuan organisasi pelajar untuk mencerahkan sekolah dan memberdayakan (empowerment) pelajar dalam artian lebih kritis, tanggap sosial, independen dan mampu bersikap dalam mengarungi tantangan zaman globalisasi yang telah menggilas segalanya. Di sini politisasi atau upaya menyeret organisasi pelajar ke wilayah politik praktis akan menimbulkan paradoks.
Organisasi pelajar memang harus berpolitik, tetapi bukan dalam lingkup sempit. Politik ala organisasi pelajar adalah mendesakkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepentingan pelajar khususnya dan pendidikan secara umum. Harapannya satu, menjadikan kaum pelajar merdeka…
ALhamdulillahirobbil'alamiin ahirnya aku jadi baca,,,, ya dikit2 ngerti lah....dari pada tidak sama sekali ... semoga kalian mampir kesini, juga ikut baca,,,katA bu guyu MEMBACA ADALAH JENDELA DUNIA